"Lagu Panggilan Jihad.mp3"

Sabtu, 06 November 2010

Puasa Arafah

Dalil Puasa Arafah : “(Puasa Arafah) menghapus dosa-dosa setahun yang lalu dan yang akan datang.” (HR. Muslim)

berkata Al-Maawardiy dalam Al-Haawiy bahwasannya hadits ini mempunyai dua penafsiran. Pertama, Allah ta’ala mengampuni dosa-dosanya selama dua tahun; Kedua, Allah ta’ala menjaganya untuk tidak berbuat dosa selama dua tahun. As-Sarkhaasiy berkata : ‘Adapun tahun pertama, maka dosa-dosanya akan diampuni’. Ia melanjutkan : ‘Para ulama berbeda pendapat mengenai makna penghapusan dosa di tahun selanjutnya (tahun depan). Sebagian mereka mengatakan, maknanya adalah bila seseorang melakukan maksiat pada tahun itu, Allah ta’ala akan menjadikan puasa di hari ‘Arafah yang ia lakukan di tahun lalu sebagai penghapus, sebagaimana ia menjadi penghapus dosa di tahun sebelumnya. Sebagian ulama lain mengatakan bahwa maknanya adalah Allah ta’ala menjaganya dari melakukan dosa di tahun depan” [Al-Majmu’ Syarhul-Muhadzdzab, 6/381].


Ash-Shan’aniy rahimahullah berkata : “Sulit diterima penghapusan dosa yang belum terjadi, yaitu dosa tahun yang akan datang. Pendapat itu dibantah dengan alasan bahwa yang dimaksudkan adalah bahwa ia diberi taufiq pada tahun yang akan datang untuk tidak melakukan dosa. Hanya saja itu dinamai penghapusan untuk penyesuaian dengan istilah tahun lalu. Atau bahwa jika dia melakukan dosa tahun yang akan datang, maka ia diveri taufiq untuk melakukan sesuatu yang akan menghapuskannya” [Subulus-Salaam, 2/461].

An-Nawawiy rahimahullah berkata : “Aku katakan : hadits-hadits ini mempunyai dua penafsiran : Pertama, menghapus dosa-dosa kecil dengan syarat ia tidak melakukan dosa besar. Jika ada dosa besar, maka tidak akan menghapus apapun, baik dosa besar ataupun dosa kecil. Kedua, - dan ini adalah pendapat yang lebih shahih/benar lagi terpilih – ia menghapus setiap dosa kecil. Jadi pengetiannya adalah (Allah) mengampuni semua dosanya, kecuali dosa besar. Telah berkata Al-Qaadliy ‘Iyaadl rahimahullahu ta’ala : ‘Apa yang disebutkan dalam hadits-hadits ini berbicara tentang pengampunan terhadap dosa-dosa kecil, selain dosa besar. Inilah madzhab Ahlus-Sunnah, karena dosa besar hanya bisa dihapus dengan taubat atau rahmat Allah ta’ala” [Al-Majmu’ Syarhul-Muhadzdzab, 6/382].

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tidaklah ada hari yang amal shalih di dalamnya lebih dicintai oleh Allah dari hari-hari tersebut (yaitu sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah).” Para sahabat pun bertanya: “Wahai Rasulullah, apakah jihad di jalan Allah tidak lebih utama?” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: “Tidaklah jihad lebih utama (dari beramal di hari-hari tersebut), kecuali orang yang keluar (berjihad) dengan jiwa dan hartanya, kemudian tidak kembali dengan keduanya (karena mati syahid).” (HR. Al-Bukhari)

Disunnahkannya puasa ‘Arafah ini khusus bagi mereka yang tidak sedang melakukan wuquf di ‘Arafah. Adapun yang sedang wuquf di ‘Arafah, maka tidak disunnahkan. Dari Abu Najiih ia berkata : Ibnu ‘Umar pernah ditanya tentang puasa ‘Arafah, lalu ia menjawab : “Aku pernah berhaji bersama Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan beliau tidak berpuasa, bersama Abu Bakar dan ia tidak berpuasa, bersama ‘Umar dan ia tidak berpuasa, juga bersama ‘Utsmaan dan ia tidak berpuasa. Adapun aku tidak berpuasa, tidak memerintahkannya, dan tidak pula melarangnya” [Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi no. 751, Ahmad 2/47 & 50, Ad-Daarimiy no. 1772, Abu Ya’laa no. 5595, Ibnu Hibbaan no. 3604, dan Al-Baghawiy no. 1792; shahih].

Dari Ummul-Fadhl binti Al-Haarits : Bahwasannya orang-orang berdebat di sisinya pada hari ‘Arafah tentang puasa Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Sebagian mereka berkata : “Beliau berpuasa”. Sebagian lain berkata : “Beliau tidak berpuasa”. Lalu aku (Ummul-Fadhl) mengirimkan pada beliau satu wadah yang berisi susu ketika beliau sedang wuquf di atas ontanya. Maka, beliau meminumnya” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhariy no. 1988 dan Muslim no. 1123].

Dari Sa’iid bin Jubair, ia berkata : “Aku mendatangi Ibnu ‘Abbaas di ‘Arafah yang waktu itu sedang makan buah delima. Lalu ia berkata : ‘Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam berbuka di ‘Arafah. Ummul-Fadhl pernah mengirim susu, lalu beliau meminumnya” [Diriwayatkan oleh An-Nasa’iy dalam Al-Kubraa no. 2828 dengan sanad shahih].

At-Tirmidziy rahimahullah berkata : “Para ulama menyenangi puasa di hari ‘Arafah, kecuali jika berada di ‘Arafah (melaksanakan wuquf haji)” [Sunan At-Tirmidziy, 2/116].

Pada sepuluh hari yang pertama ini, kita juga disyariatkan untuk banyak berdzikir kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, baik itu berupa ucapan takbir, tahmid, maupun tahlil. Hal ini sebagaimana yang disebutkan dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala: “Dan supaya mereka berdzikir menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan.” (Al-Hajj: 28)

Diterangkan oleh para ulama bahwa hari-hari yang ditentukan pada ayat tersebut adalah sepuluh hari awal bulan Dzulhijjah. Maka hadits dan ayat tadi menunjukkan keutamaan hari-hari tersebut dan betapa besarnya rahmat Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada hamba-hamba-Nya. Karena Allah Subhanahu wa Ta’ala masih memberikan kesempatan bagi orang yang belum mampu menjalankan ibadah haji untuk mendapatkan keutamaan yang besar pula, yaitu beramal shalih pada sepuluh hari pertama di bulan Dzulhijjah. Sehingga sudah semestinya kaum muslimin memanfaatkan sepuluh hari pertama ini dengan berbagai amalan ibadah, seperti berdoa, dzikir, sedekah, dan sebagainya. Termasuk amal ibadah yang disyariatkan untuk dikerjakan pada hari-hari tersebut adalah puasa. Apalagi ketika menjumpai hari Arafah, yaitu hari kesembilan di bulan Dzulhijjah, sangat ditekankan bagi kaum muslimin untuk berpuasa yang dikenal dengan istilah puasa Arafah, kecuali bagi jamaah haji yang sedang wukuf di Arafah. Hal ini sebagaimana yang disabdakan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika ditanya tentang puasa hari Arafah, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “(Puasa Arafah) menghapus dosa-dosa setahun yang lalu dan yang akan datang.” (HR. Muslim)

Adapun bagi para jamaah haji, mereka tidak diperbolehkan untuk berpuasa, karena pada hari itu mereka harus melakukan wukuf. Karena mereka memerlukan cukup kekuatan untuk memperbanyak dzikir dan doa pada saat wukuf di Arafah. Sehingga pada hari tersebut kita semua berharap untuk mendapatkan keutamaan yang sangat besar serta ampunan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan bahwa hari itu adalah hari pengampunan dosa-dosa dan hari dibebaskannya hamba-hamba yang Allah Subhanahu wa Ta’ala kehendaki dari api neraka. Sebagaimana dalam sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Tidak ada hari yang Allah membebaskan hamba-hamba dari api neraka, lebih banyak daripada di hari Arafah.” (HR. Muslim)

Pada bulan Dzulhijjah juga ada hari yang sangat istimewa yang dikenal dengan istilah hari nahr. Yaitu hari kesepuluh di bulan tersebut, di saat kaum muslimin merayakan Idul Adha dan menjalankan shalat Id serta memulai ibadah penyembelihan qurbannya, sementara para jamaah haji menyempurnakan amalan hajinya. Begitu pula hari-hari yang datang setelahnya, yang dikenal dengan istilah hari tasyriq, yaitu hari yang kesebelas, keduabelas, dan ketigabelas. Allah Subhanahu wa Ta’ala mengkhususkan hari-hari tersebut sebagai hari-hari untuk makan, minum, dan berdzikir. Dan hari-hari itulah yang menurut keterangan para ulama adalah hari yang disebutkan dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala: “Dan berdzikirlah (dengan menyebut) Allah dalam beberapa hari yang berbilang.” (Al-Baqarah: 203)
Dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga menyebutkan tentang hari-hari tersebut: “Hari-hari Mina (hari nahr dan tasyriq) adalah hari-hari makan dan minum serta berdzikir kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.” (HR. Muslim)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pengikut