"Lagu Panggilan Jihad.mp3"

Minggu, 24 Oktober 2010

Tata Cara Sujud Sahwi

Sujud sahwi adalah:
dua sujud yang dilakukan oleh orang yang shalat untuk menggantikan kesalahan yang terjadi dalam shalatnya karena lupa

Penyebabnya ada tiga: menambahkan sesuatu (az-ziyaadah), menghilangkan sesuatu (an-naqsh), dan dalam keadaan ragu-garu

I. MENAMBAHKAN SESUATU (Az-Ziyaadah)
Jika seseorang shalat menambahkan sesuatu dengan sengaja dalam berdiri, duduk, ruku, atau sujud, maka shalatnya batal. Namun jika ia melakukannya karena lupa dan tidak ingat atas penambahan tersebut sampai ia menyelesaikan-nya, maka tidak ada sesuatu atasnya kecuali sujud sahwi dan shalatnya menjadi benar. Namun jika ia mengingatnya ketika sedang melakukan penambah-an tersebut, maka wajib baginya untuk me-ninggalkan (membatalkan) penambahan tersebut kemudian melakukan sujud sahwi (yakni di akhir shalat) dan shalatnya menjadi benar. Contohnya seseorang yang shalat zhuhur lima raka’at, tetapi ia tidak mengingat bahwa ia telah menambah (raka’at) kecuali ketika (ia dalam keadaan) tasyahud. Maka ia harus menyelesaikan tasyahud tersebut lalu melakukan salam kemudian sujud sahwi lalu melakukan salam lagi. Namun jika ia tidak mengingat penambahan tersebut kecuali setelah salam, maka ia harus melakukan sujud sahwi kemian melakukan salam lagi (ketika ia ingat setelah melakukan salam setelah shalat). Dan jika ia mengingat penambahan tersebut pada saat ia berdiri pada saat raka’at kelima, maka ia harus duduk kemudian tasyahud dan salam, kemudian sujud sahwi lalu salam lagi.


SALAM SEBELUM SHALAT SEMPURNA
Salam sebelum shalat sempurna adalah penambahan di dalam shalat. Maka barangsiapa yang salam sebelum menyempurnakan shalat secara sengaja, maka shalatnya batal. Namun jika hal tersebut dilakukan karena lupa atau ia tidak ingat sampai waktu yang lama maka ia harus mengulangi shalatnya kembali. Jika ia mengingatnya sesaat kemudian, misalnya setelah dua atau tiga menit kemudian, maka ia harus menyempurnakan shalatnya lalu salam dan kemudian sujud shawi dan melakukan salam lagi.

II. PENGURANGAN (An-Naqsh)
1). Pengurangan rukun shalat: Jika seseorang mengurangi salah satu rukun dalam shalatnya seperti takbir awal (takbiratul ihram), maka tidak ada shalat baginya. Baik dilakukan dengan sengaja atau lupa, karena sesungguhnya shalatnya belum didirikan.

Dan jika yang ditinggalkan itu adalah rukun shalat selain takbiratul ihram, dan ditinggalkan dengan sengaja, maka shalatnya batal. Namun jika ditinggalkan karena lupa, lalu ia meneruskan shalatnya dan mendapatinya (rukun yang ditinggal-kan tersebut) pada raka’at berikutnya, maka ia melaksanakan raka’at yang dilupakannya pada saat itu dan yang mengikutinya pada tempatnya. Jika ia belum mencapai tempatnya pada raka’at berikut-nya, maka wajib baginya untuk kembali pada rukun yang ditinggalkannya dan melakukannya dan apapun yang datang setelahnya. Dalam setiap keadaan ini, wajib baginya untuk melakukan sujud sahwi setelah salam.

Misalnya seseorang yang lupa sujud kedua pada raka’at pertama, namun mengingatkan pada saat duduk diantara dua sujud pada raka’at kedua. Maka ia harus membuang raka’at pertama dan raka’at kedua menempati tempatnya (mengganti-kan raka’at pertama), maka ia menghitungnya sebagai raka’at yang pertama dan menyempurnakan shalatnya berdasarkan hal tersebut. Kemudian ia salam lalu sujud sahwi dan salam lagi. Contoh lain, seseorang yang lupa sujud kedua dan duduk diantara dua sujud pada raka’at pertama. Namun ia mengingatnya setelah berdiri dari ruku’ pada raka’at kedua. Ia harus kembali duduk dan sujud, dan kemudian melanjutkan shalatnya dari situ. Kemudian ia salam, sujud sahwi dan salam.

2) Pengurangan kewajiban: Jika seseorang yang shalat meninggalkan suatu kewajiban diantara kewajiban di dalam shalat secara sengaja, maka shalatnya batal. Tetapi jika hal itu dilakukannya karena lupa dan ia mengingat-nya sebelum melanjutkan dari tempatnya pada shalat tersebut, maka ia harus melakukannya dan tidak ada sesuatu atasnya. Jika ia mengingatnya setelah melanjutkan dari tempatnya di dalam shalat, tetapi belum mencapai rukun yang mengikutinya, maka ia harus kembali (pada apa yang ditinggalkannya) dan melakukan-nya, lalu ia menyempurnakan shalatnya hingga salam, lalu sujud sahwi dan salam. Akan tetapi jika ia mengingatnya setelah mencapai rukun shalat yang mengikutinya, maka hal tersebut batal dan ia tidak boleh kembali untuk melaksanakannya. Akan tetapi setelah ia menyelesaikan shalatnya ia sujud sahwi terlebih dahulu sebelum salam.

Contohnya ketika seseorang bangkit dari sujud kedua pada raka’at kedua untuk melakukan raka’at ketiga, tertapi ia lupa melaksanakan tasyahud. Dan ia mengingatnya sebelum benar-benar berdiri untuk melaksanakan raka’at ketiga, maka ia harus kembali pada posisi duduk untuk melakukan tasyahud dan menyempurnakan shalatnya. Maka dalam hal ini tidak ada sesuatu (kewajiban) atasnya (melakukan sujud sahwi). Namun demikian, apabila ia mengingatnya setelah berdiri namun sebelum tegak, maka ia harus kembali ke posisi duduk dan melakukan tasyahud, kemudian menyelesaikan shalatnya hingga salam, lalu sujud sahwi dan salam lagi. Jika ia mengingatnya setelah berdiri tegak, maka tasyahud tersebut batal baginya. Kemudian ia harus meneruskan dan menyempurnakan shalat-nya, lalu sujud sahwi sebelum salam.

II. RAGU-RAGU (Syak)
Ragu adalah tidak yakin terhadap dua keadaan yang timbul, dan keraguan tidak diperhitungkan dalam perkara ibadah dalam tiga hal: 1) Jika hal tersebut hanya merupakan hayalan seseorang yang bukan merupakan kenyataan seperti was-was. 2) Jika hal tersebut muncul secara terus-menerus pada seseorang bahwa ia tidak melakukan suatu ibadah kecuali bahwa ia meragukannya. 3. Jika hal tersebut muncul setelah me-nyempurnakan ibadah. Maka yang demikian tidak diperhitungkan selama ia tidak yakin atasnya, dan dalam hal ini ia harus beramal terhadap apa yang ia yakini.

Contohnya seseorang mengerjakan shalat Dzhuhur. Setelah menyelesaikan shalatnya ia ragu apakah ia shalat tiga atau empat raka’at. Dan ia tidak memperdulikan keraguan ini kecuali ia yakin bahwa ia hanya shalat tiga raka’at. Dalam hal ini ia harus menyempurnakan shalatnya hingga melakukan salam kemudian sujud sahwi dan salam,
jika keraguan tersebut segera timbul setelah shalat. Namun jika keraguan tersebut timbul setelah selang waktu yang lama, maka ia harus mengulangi shalat tersebut. Adapun keraguan diluar dari tiga keadaan ini, maka hal tersebut harus diperhitungkan. Keraguan di dalam shalat terdiri dari dua macam:

1) Salah satu dari dua hal lebih berat dalam pikirannya, maka ia bertindak atas apa yang lebih kuat baginya. Kemudian ia menyelesaikan shalatnya berdasarkan hal tersebut dan setelahnya hingga ia salam, kemudian melakukan sujud sahwi dan salam.

Contohnya, jika seseorang shalat Zhuhur dan mengalami keraguan dalam suatu raka’at apakah ini raka’at kedua atau ketiga. Namun yang paling kuat dalam pikirannya adalah raka’at ketiga, maka ia menjadikan raka’at tersebut sebagai raka’at ketiga dan menyelesaikan sesudahnya hingga ia salam, kemudian sujud sahwi lalu salam.

2) Tidak ada dari salah satu dari dua kemungkinan yang lebih condong dalam pikirannya. Yang demikian ia harus mengambil sikap terhadap apa yang telah pasti, yaitu yang jumlahkan lebih sedikit. Kemudian ia meneruskan shalat-nya dan sujud sahwi sebelum salam, lalu salam.

Contohnya jika seseorang shalat ashar dan ia ragu dalam suatu raka’at apakah ini raka’at kedua atau ketiga, yang mana tidak ada diantara keduanya yang ia condong kepadanya. Maka ia menjadikan shalatnya tersebut sebagai raka’at kedua lalu melakukan tasyahud dan bertasyahud pada dua raka’at setelahnya. Kemudian ia sujud sahwi sebelum salam, lalu salam.
( Bersambung )

Sabtu, 23 Oktober 2010

Kehidupan Rasulullah Sebelum Diutus

Muhammad Sholallahu ‘Alaihi wa Salam dilahirkan di Makkah Al Mukarramah pada hari Senin tanggal 12 Rabi’ul Awwal tahun 571 M. Tahun tersebut adalah tahun ketika Abrahah Al Habsyi berusaha menghancurkan Ka’bah. Maka Allah menghancurkan Abrahah (dan tentaranya). Hal tersebut disebutkan di dalam surat Al Fiil.

Ayah beliau adalah Abdullah bin Abdil Muthallib bin Hasyim bin Abdi Manaf. Ia meninggal sebelum Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Salam dilahirkan. Oleh karena itu beliau dilahirkan dalam keadaan yatim.
Ibu beliau adalah Aminah bintu Wahb bin Abdi Manaf bin Zuhrah bin Kilab bin Murrah. Setelah ibunya melahirkan, ia mengirim beliau kepada kakeknya. Ibunya memberikan kabar gembira kepada sang kakek dengan kelahiran cucunya. Maka kakeknya datang dengan menggendong-nya. Sang kakek memasuki Ka’bah bersama beliau. Kakeknya berdoa bagi beliau dan menamai beliau Muhammad.

Allah ‘Azza wa Jalla berfirman: “Dan (aku) memberikan kabar gembira dengan seorang rasul yang datang sesudahku yang bernama Ahmad (Muhammad).” (QS. Ash Shaff: 6).

Nasab beliau dari sisi ayah adalah: Muhammad bin Abdillah bin Abdil Muthallib bin Hasyim bin Abdi Manaf bin Qushai bin Kilab bin Murrah bin Ka’ab bin Lu’ai bin ghalib bin Fihr bin Malik bin AnNadhar bin Kinanah bin Khuzaimah bin Mudrikah bin Ilyas bin Mudhar bin Nazzar bin Ma’ad bin Adnan. Adnan termasuk keturunan Ismail bin Ibrahim ‘Alaihimussallam. Nasab ayah Nabi Sholallahu ‘Alaihi wa Salam bertemu dengan nasab ibu beliau pada Kilab bin Murrah.

Masa Penyusuan Nabi Sholallahu ‘Alaihi wa Salam
Di masa itu, orang-orang mulia suku Quraisy mempunyai sebuah kebiasaan untuk menyerahkan anak-anak mereka kepada para ibu susuan yang berasal dari desa (pedalaman). Agar di tahun-tahun pertama kehidupannya sang anak hidup di udara pedalaman yang segar, sehingga badannya menjadi kuat karenanya.

Oleh karena itu Abdul Muthallib mencari ibu susuan bagi Muhammad Sholallahu ‘Alaihi wa Salam. Ketika itu datanglah wanita-wanita dari bani Sa’ad di Makkah. Mereka mencari anak-anak untuk disusui. Di antara mereka adalah Halimah As Sa’diyyah. Semua wanita itu telah mengambil anak untuk disusui kecuali Halimah. Ia tidak menemukan selain Muhammad. Pada mulanya ia enggan mengambil beliau dikarenakan beliau adalah anak yatim tanpa ayah. Namun ia tidak suka kembali tanpa membawa anak susuan. Akhirnya Halimah mengambil beliau karena tidak ada bayi selain beliau untuk disusui.

Halimah mendapatkan banyak dari barakah Nabi Sholallahu ‘Alaihi wa Salam selama menyusui beliau. Nabi Sholallahu ‘Alaihi wa Salam menetap di Bani Sa’ad selama dua tahun, selama masa penyusuan. Kemudian Halimah membawanya ke Makkah. Ia membawanya kepada ibu beliau, Halimah meminta, agar beliau bisa tinggal bersamanya lebih lama lagi.

Kemudian Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi wa Salam mencapai usia lima tahun. Di usia itu terjadi peristiwa pembelahan dada beliau. Jibril datang kepada Muhammad Sholallahu ‘Alaihi wa Salam. Ketika itu beliau tengah bermain-main bersama anak-anak lain. Jibril mengambil beliau kemudian melemparkannya ke tanah. Ia mengambil jantung beliau. Ia mengeluarkan segumpal darah dari jantung tersebut. Kemudian ia berkata: “Ini adalah bagian syaithan dari dirimu.”

Lalu ia mencucinya dalam baskom emas dengan air zam-zam. Kemudian Jibril mengembalikan jantung itu seperti semula. Anas Radhiyallahu’anhu, perawi hadits ini mengatakan: “Sungguh aku telah melihat bekas sobekan di dada beliau.” ­­

Maka kemudian Halimah mengetahui kejadian ini. Ia pun mengkhawatirkan keselamatan beliau. Sehingga ia mengembalikan beliau kepada sang ibu.

Meninggalnya Ibu Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi wa Salam dan Pengasuhan Sang Kakek

Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi wa Salam dikembalikan oleh Halimah. Beliau pun tinggal bersama sang ibu. Ketika beliau mencapai usia enam tahun, Aminah membawanya ke Yatsrib. Mereka menunjungi paman-paman beliau. Mereka adalah saudara Aminah dari Bani An Najjar.

Aminah pergi bersama Ummu Aiman, pengasuh Nabi Sholallahu ‘Alaihi wa Salam. Di perjalanan pulang dari Yatsrib, ibu beliau meninggal. Ia meninggal di suatu tempat yang disebut Al Abwa’. Al Abwa’ berada di antara Makkah dan Madinah. Maka Ummu Aiman kembali ke Makkah bersama beliau. Kemudian beliau diasuh oleh sang kakek Abdul Muthallib.

Sumber: Muqarrar al-Mustawa Ats Tsalits fis Siratin Nabawiyyah—Syu’bah Ta’lim al-Lughah al-’Arabiyyah al-Jami’ah al-Islamiyyah, Madinah
Sumber : http://kisahislam.com

Rabu, 13 Oktober 2010

keutamaan ilmu

Islam tak bosan-bosannya meng-anjurkan kepada pengikutnya, agar selalu menuntut ilmu. Di dalam Al-Qur’an mau-pun Al-Hadits, sangat banyak pernyataan yang mengungkapkan tentang hal ini. Se-perti misalnya yang terdapat pada surah Al-Mujadalah ayat 11, Allah SWT. berfir-man :

“Niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman diantara kamu dan orang-orang yang berilmu pengetahuan itu, beberapa derajat”.

“Adakah sama antara orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?” (Az-Zumar(39):9)


Bagaimana dengan hadis Nabi yang berbunyi:
“Keutamaan orang berilmu atas ahli ibadah adalah seperti keutamaan bulan purnama atas seluruh bintang. Sesungguhnya para ulama adalah pewaris para Nabi, dan sesungguhnya para Nabi tidak mewariskan dinar dan dirham, akan tetapi mewariskan ilmu. Maka barangsiapa yang mengambilnya berarti telah mengambil bagian yang banyak.” [HR Abu Dawud dan Tirmidzi]
Begitu giatnya kaum Muslim pada saat ini mencari kekayaan hingga mereka sendiri tidak tahu bagaimana untuk membelanjakannya.

Diriwayatkan suatu hari sepuluh orang terpelajar mendatangi Imam Ali ra. Mereka ingin mengetahui mengapa ilmu lebih baik daripada harta dan mereka meminta agar masing-masing dari mereka diberikan jawaban yang berbeda. Imam Ali ra menjawab sebagaimana berikut:

1- Ilmu adalah warisan Nabi, sebaliknya harta adalah warisan Firaun. Sebagaimana Nabi lebih unggul daripada Firaun, maka ilmu lebih baik daripada harta.

2- Engkau harus menjaga hartamu, tetapi Ilmu akan menjagamu. Maka dari itu, Ilmu lebih baik daripada harta.

3- Ketika Ilmu dibagikan ia semakin bertambah. Ketika harta dibagikan ia berkurang. Seperti itulah bahwa ilmu lebih baik daripada harta.

4- Manusia yang mempunyai banyak harta memiliki banyak musuh, sedangkan manusia berilmu memiliki banyak teman. Untuk itu, ilmu lebih baik daripada harta.

5- Ilmu menjadikan seseorang bermurah hati karena pandangannya yang luas, sedangkan manusia kaya dikarenakan kecintaannya kepada harta menjadikannya sengsara. Seperti itulah bahwa ilmu lebih baik daripada harta.

6- Ilmu tidak dapat dicuri, tetapi harta terus-menerus terekspos oleh bahaya akan pencurian. Maka, ilmu lebih baik daripada harta.

7- Seiring berjalannya waktu, kedalaman dan keluasan ilmu bertambah. Sebaliknya, timbunan dirham menjadi berkarat. Untuk itu, ilmu lebih baik daripada harta.

8- Engkau dapat menyimpan catatan kekayaanmu karena ia terbatas, tetapi engkau tidak dapat menyimpan catatan ilmumu karena ia tidak terbatas. Untuk itulah mengapa ilmu lebih baik daripada harta.

9- Ilmu mencerahkan pikiran, sementara harta cenderung menjadikannya gelap. Maka dari itu, ilmu lebih baik daripada harta.

10- Ilmu lebih baik daripada harta, karena ilmu menyebabkan Nabi berkata kepada Tuhan “Kami menyembah-Nya sebagaimana kami adalah hamba-hamba-Nya”, sementara harta membahayakan, menyebabkan Firaun dan Nimrud bersikap congkak dengan menyatakan diri mereka sebagai Tuhan.

Pelajarilah ilmu-lmu tersebut sesuai dengan kemampuan kita. Prioritaskanlah yang harus diprioritaskan. Dahulukanlah mana yang harus didahulukan. Pelajarilah hal-hal yang merupakan wajib a’in (fardhu ‘ain) bagi kita.

Sabtu, 09 Oktober 2010

Hizib Syaih Abdul Qadir Jaelani

Robbi inni maghlubun fantasir, wajbur qolbil munkatsir
رَبِّ اِنِّي مَغْلُوْبٌ فَانْتَصِرْ، وَاجْبُرْ قَلْبِي الْمُنْكَسِرْ،
Wahai Allah aku sudah kalah(kalah oleh tubuh dan nafsuku hingga tak mampu
terus menerus berdzikir dan mendekat pada Mu) maka berilah pertolongan , maka hiburlah hati yg telah hancur ini


wajma` syamlil mundatsir , innaka antar rohmanul muqtadir
وَاجْمَعْ شَمْلِي الْمُنْدَثِرْ، اِنَّكَ أَنْتَ الرَّحْمَنُ الْمُقْتَدِرْ،
(Maka padukanlah kemuliaan dan kesempurnaan yg telah terselubung, sungguh Engkau Yang Maha Pengasih dan Maha Menentukan)


ikfini ya kafi wa anal`abdul muftakir, wa kafa billahi waliya , wa kafa billahi nashiiro
إِكْفِنِي يَاكَافِي وَأَنَا الْعَبْدُ الْمُفْتَقِرْ،وَكَفَى بِاللهِ وَلِيَّا،وَكَفَى بِاللهِ نَصِيْرَا،

Cukupkanlah bagiku (cukupilah segala kebutuhanku) dan aku adalah Hamba yg sangat membutuhkan uluran bantuan Mu dan cukuplah sudah Allah sebagai yg diandalkan, dan cukuplah sudah Allah sebagai penolong


inna syirka la zulmun `aziim, wa mallohu yuridu zulman lil `ibad
إِنَّ الشِرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيْمِ، وَمَا اللهُ يُرِيْدُ ظُلْمًا لِلْعِبَادْ،
(Sungguh menduakan Allah adalah kejahatan yg besar, dan tiadalah menginginkan kejahatan dan kegelapan bagi hamba hamba Nya)


fa quthi`a dabirul qoumil ladzina zholamu, wal hamdu lillahi robbil `alamin
فَقُطِعَ دَابِرَالْقَوْمِ الَّذِيْنَ ظَلَمُوْا، وَالْحَمْدُللهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنِ
(maka terputuslah segala tipu daya dan usaha mereka mereka yg berbuat kejahatan, dan segala puji bagi Tuhan sekalian alam)

Sabtu, 02 Oktober 2010

Fdhilah Asmaul Husna ( BAG 5 )

Asmaul Husna merupakan amalan yang bermanfaat dan mempunyai nilai yang tak terhingga tingginya. “Allah memiliki Asmaul Husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan (menyebut) nama-nama-Nya yang baik itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dalam (menyebut) nama-nama-Nya. Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang mereka kerjakan.” (QS. Al A’raf: 180) Katakanlah, “serulah Allah atau serulah ar Rahman. Dengan nama yang mana saja kamu menyeru-Nya, maka bagi-Nya nama-nama yang baik.” (QS. Al Isra’: 110)


Sebelum membahas tentang rahasia dibalik nama nama Allah itu, kita kaji terlebih dahulu makna terdalam dari Asma'ul Husna satu persatu:


41. Al Hasiib


Artinya Maha menghitung. Dia-lah Allah Yang Maha menghitung semua hal yang berhubungan dengan makhluk-Nya dengan hitungan yang paling teliti dan dengan prinsip keadilan. Dalam hal apa pun Allah adalah Maha menghitung, bukan saja masalah amal perbuatan manusia namun juga pada hal-hal lain yang berhubungan dengan kehidupan makhluk-Nya.


42. Al Jaliil


Artinya Yang Mempunyai Kebesaran. Dia-lah Allah Dzat Yang Maha Agung dan Mulia.


43. Al Kariim


Artinya Yang Maha Mulia. Kemuliaan Allah Meliputi segala hal, baik dalam keagungan sifat-Nya maupun Dzat-Nya.


44. Ar Raqiib


Artinya yang Maha mengawasi. Allah adalah Dzat Yang selalu mengawasi semua makhluk ciptaan-Nya. Pengawasan Allah tak pernah lengah sebab Allah tak pernah tidur. Tak ada satu pun makhluk yang luput dari pengawasan-Nya.Atas dasar ini maka tak ada tempat yang bisa menyembunyikan makhluk dari pengawasan Allah.


45. Al Mujiib


Artinya Yang Maha Mengabulkan doa. Allah adalah Dzat yang Mengabulkan doa dan semua permintaan orang yang berdoa memohon kepada-Nya.Lewat firman-Nya Allah pun berjanji akan mengabulkan semua doa dari hamba-hamba-Nya.


46. Al Waasi'


Artinya Yang Maha Luas. Dia-lah Allah Dzat Yang Maha Luas kekayaan-Nya, luas ilmu-Nya, dan luas kekuasaan-Nya.


47. Al Hakiim


Artinya Yang Maha Bijaksana. Allah adalah Dzat Yang Bijaksana.Semua perbuatan dan keputusan-Nya adalah sebuah kebijaksanaan-Nya. Dia memerintahkan makhluk-Nya dengan bijaksana dan mengadili mereka dengan bijaksana pula.


48. Al Waduud


Artinya Maha Mencintai. Dia-lah Allah Yang Maha Mencintai semua makhluk-Nya. Cinta Allah kepada semua makhluk ciptaan-Nya melebihi kecintaan makhluk kepada-Nya.


49. Al Majiid


Artinya Maha Mulia dan Maha Luhur.


50. Al Baa'its


Artinya Yang Membangkitkan. Dia-lah Dzat yang akan membangkitkan semua manusia yang mati untuk hidup kembali di akhirat kelak.

Pengikut